Halaman

Paket Latihan CPNS

Jumat, 23 November 2012

Opera Sang Powernow

alasan anak sekolah takut matematika_1349231254Apa yang terjadi jika pendidikan sudah kehilangan esensinya? Itu yang sempat terlintas di benak saya melihat fenomena yang terjadi sekarang. Ketika pendidikan sudah tidak lagi bertujuan untuk mengembangkan intuisi siswa, ketika ilmu yang dipelajari di sekolah hanya sebagai formalitas dan kegiatan rutinitas yang membosankan bagi siswa, dan ketika ujian nasional hanya bertujuan mencari nilai setinggi-tingginya dengan menggunakan “rumus cepat” tanpa bermakna apa-apa bagi diri siswa. Lalu apa atau siapa yang salah? Bukanlah mencari kesalahan disini untuk menyalahkan yang si bersalah, tapi untuk memperbaikinya agar pendidikan bisa membangun kemampuan terpendam siswa, agar mereka bebas memilih apa yang mereka minati tanpa merasa “dihantui” ujian nasional yang determinism.
Jika kita telaah dengan kacamata filsafat, sejatinya pendidikan itu dibangun oleh diri siswa sendiri, yang dikenal dengan teori konstruktivism atau lebih lengkap jika disebut socio konstruktivism. Teori ini lebih cocok karena humanism, artinya lebih memanusiakan manusia, tidak memperlakukan siswa sebagai robot recorder yang harus melakukan dan menghapal apa yang diminta oleh guru. Fenomena ini tentu saja terjadi di negara adidaya Amerika Serikat, dan Indonesia termakan sponsor-sponsor mereka yang bahkan bersedia melakukannya tanpa dibayar dan tanpa disadari, konyol. Sang powernow itu menggunakan kekuasaannya untuk membantai semua daerah “jajahannya” dengan jargon mereka. Bukti kecil, handphone, siapa diantara kita yang bisa lepas dari alat komunikasi buatan mereka itu? Bahkan sekarang para pemakai BB sering menghantui pemakai HP biasa untuk mengikuti jejaknya, baik langsung maupun secara tidak langung. Apalagi sifat orang Indonesia yang suka “mengkonsumsi” apapun yang diberikan tanpa melakukan “saringan” mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang perlu dan mana yang tidak. Sayangnya, itu juga terjadi dalam dunia pendidikan kita di Indonesia. Sang powernow ini menggabungkan unsur kaplitalis, pragmatis, utulitarian, dan hedonis dalam pendidikan mereka. Imbasnya ke Indonesia, tanya saja random kepada salah seorang mahasiswa yang ingin menjadi guru, kenapa cita-citanya ingin menjadi guru? Mungkin dia akan menjawab karena mapan, salah? Bukan salah, tapi kita bisa melihat pandangan orang tersebut bahwa pendidikan itu berlandaskan hedonism. Kita juga bisa melihat para “dewa” yang berkuasa dalam dunia pendidikan di Indonesia tidak ada satupun yang backgroundnya pendidikan, ironis memang. Sang powernow ini tahu apa tentang pendidikan? Tahu apa tentang intuisi? Padahal ilmu itu dibangun siswa memerlukan intuisi, sedangkan sekarang intuisi siswa sudah tercabut dengan sistem yang dibuat sang powernow sekarang. Tidaklah sama matematikanya para ilmuwan matematika dengan siswa sekolah, dengan anak SD, dengan anak TK. Janganlah berlaku kejam kepada siswa, dengan menuntut mereka melakukan ini itu, determinis, bahkan meminta mereka berpikir tingkat tinggi atau yang biasa disebut dengan higher order thinking. Salah? Bukan salah, tapi sekali lagi disini bahwa pendidikan telah kehilangan esensinya, dan digantikan dengan kapitalism, yang kaya bisa jadi lebih baik pendidikannya dari yang kurang kaya, otoriter, guru mengarahkan pembelajaran seperti militer, hedonis, menjadi guru hanya untuk mengejar kemapanan. Jika kita bicara kurikulum, sebagaimana kurikulum kita sekarang ini yaitu KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, artinya kurikulumnya disesuaikan dengan tingkatan pendidikan masing-masing, dengan kata lain menyesuaikan dengan siswanya, bolehlah dikatakan bahwa kurikulum itu harusnya “dibuat” oleh siswa, atau setidaknya dibuat “untuk” siswa, nyatanya? Masih saja pihak pusat mengambil peran hampir 90% dalam pembuatan kurikulum itu, padahal mereka tidak mengerti siswa, tidak mengerti pendidikan, tidak mengerti intuisi, sehingga bolehlah dikatakan bahwa “KTSP” hanyalah topeng belaka, sebuah kekonyolan yang tidak lucu. Jika kita tanyakan kepada kebanyakan orang tentang semua ini, mungkin kebanyakan mereka juga tidak tahu, dan cenderung ikut saja dengan semua kebijakan dunia pendidikan yang ada, sedangkan jika menggunakan kacamata filsafat terlihatlah apa yang janggal disana. Inilah perbedaan orang yang naik kereta api (common sense) dengan yang naik helikopter (filsafat). Maka sehebat-hebatnya masinis kereta api, tidaklah akan bisa menjalankan kereta apinya keluar dari jalur yang ada, kalaupun ada ya itu malah kecelakaan, ^_^, tapi jika menggunakan helikopter maka kita bisa menggapai tujuan yang sama tapi bebas, bebas meliuk-liuk, menukik, berlenggak lenggok sehingga bisa melihatnya secara lebih bebas dan kritis. Demikian, salah satu pandangan filsafat tentang pendidikan sekarang, tentunya semua ini murni pemikiran saya yang merupakan refleksi dari apa yang saya dapat waktu perkuliahan filsafat ilmu dari Bapak Profesor Marsigit pada hari selasa, tepatnya tanggal 20 Nopember 2012 sekitar jam 8 sampai 9 pagi. CMIIW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar