Halaman

Paket Latihan CPNS

Selasa, 04 Desember 2012

“Berpikir” Memandang Wajah Rasulullah

Captured this full moon in Duvall WA.  This image is a composite of two shots.  <br /><br />Technical details:  Nikon D100 at prime focus on a 10" Meade LX200 GPS at f10 with a Celestron f6.3 field flattener.Bagaimana kita mempercayai adanya Nabi dan Rasul? Pertanyaan awal yang akan dibahas secara sudut pandang filsafat, dan pertanyaan memang awal dari ilmu. Mungkin ada sebagian kita yang mengatakan bahwa mempercayai Rasul melalui keyakinan, sejak kecil, ini dinamakan intuisi atau apriori. Ada juga yang mengatakan mempercayai Rasul melalui dokumen yang ada sekarang, seperti alquran, dan bukti-bukti sejarah lainnya, ini dinamakan aposteriori. Persoalannya sekarang adalah bagaimana mendalaminya? Abu Bakar Assiddiq mengatakan bahwa dalam tidurnya, dalam geraknya, dalam diamnya, beliau senantiasa selalu memandang wajah Rasulullah, inilah yang terjadi jika kita menggunakan mata hati kita untuk bisa memandang nur Muhammad saw. Dari Abu Bakar itulah para sahabat yang lain belajar mendalaminya, dan ini berkelanjutan sampai sekarang dimana di setiap kita punya guru spiritual masing-masing, baik itu pengajian-pengajian di kampung, maupun perkuliahan intensif.
Sehingga walaupun terlihat secara zahir Rasul itu wafat, tapi kita bisa melihat nur beliau menggunakan mata hati kita, dan dibantu oleh guru spiritual kita. Inilah epistimologi dari spiritual, jadi bukan hanya pikiran yang memiliki itu. Sebagaimana ilmu di dunia, jangan mengira alquran itu tidak ada ilmunya, malahan alquran itu penuh dengan ilmu dan filsafat. Misalnya dinukilkan satu ayat alquran “wamaa adraaka maa lailatul qadr?” yang artinya “apakah kalian tahu apa itu lailatul qadr?” disini alquran sudah membuktikan bahwa ilmu berawal dari pertanyaan. Dan dari sana juga alquran menjawab bahwa lailatul qadr adalah malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Dari keyakinan, kemudian diperkuat dengan referensi, dapat ditemukan bahwa Rasulullah saw itu sebenarnya bukan “sekedar” sosok Rasul yang berbentuk manusia, tapi nur beliau adalah sumber dari segala yang ada dan yang mungkin ada dalam alam semesta ini. Subhanallah. Nur tersebut diminta untuk membaca asmaul husna sampai beribu tahun dan akhirnya mengucurlah keringat dari sana. Dari keringat itulah tercipta ruh para nabi yang lain serta segala yang ada dan yang mungkin ada di alam semesta ini. Inilah yang disebut sistem berpikir, dimana kita melihat itu sebagai suatu bentuk kehebatan Rasulullah saw. Mungkin ada yang mengatakan itu lebay, aneh, impossibru, bid’ah, dll, tapi kita bisa memandang ini dari segi filsafat. Itulah kehebatan filsafat, kelembutan filsafat dalam memandang segala hal, bahkan spiritual. Bagaimana awal mengenal Rasulullah? Tentunya kita tahu bahwa itu dimulai sejak kita masih sangat kecil, yaitu berawal dari ucapan dua kalimat syahadat kita “asyhadu al laailaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah”, yang bisa kita terjemahkan secara harfiah bahwa “aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah rasulullah”. Jika kita telaah lebih mendalam, yaitu dari semantik bahasanya dan ontologis maknanya, maka kalimat syahadat itu mencakup berbagai unsur seperti Pengetahuan, Ikrar, Sumpah, Janji, Keyakinan, Keikhlasan, Kejujuran, Kecintaan, Penerimaan dan Ketundukan. Berikut saya nukilkan penjelasan dari bapak Marsigit melalui elegi beliau:
Kalimah Syahadat mengandung unsur Pengetahuan karena seseorang yang bersyahadat harus memiliki pengetahuan tentang syahadatnya. Dia wajib memahami isi dari dua kalimat yang dia nyatakan itu, serta bersedia menerima konsekuensi ucapannya. Seseorang yang bersyahadat haruslah mengetahui dengan sempurna makna dari syahadat tanpa sedikitpun keraguan terhadap makna tersebut. Artinya diapun harus meyakininya. Jika seorang muslim telah mengikrarkan Kalimah Syahadat maka dia mempunyai kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang kita Ikrarkan itu. Mengucapkan Kalimah Syahadat juga mengandung unsur Sumpah, artinya seorang muslim yang telah mengucapkannya bersedia menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut, siap dan bertanggung jawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Mengucap Kalimah Syahadat juga mempunyai unsur ontologisnya Janji, yaitu berjanji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT, yang terkandung dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasul. Bersyahadat itu juga harus memenuhi unsur Menerima dan Tunduk dengan Jujur, Ikhlas, dan semata-mata demi Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bersyahadat itu harus menerima dengan Jujur dan Ikhlas segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Dan hal ini harus membuahkan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, dengan jalan meyakini bahwa tak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran yang datang dari syariat Islam melalui Al Qur'an dan Sunnah Rasul, serta berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya dengan Tunduk secara fisik dan Menerima dalam hati, kemudian mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, dan selalu siap melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.
Lalu bagaimana kita bisa memandang wajah Rasulullah? Apa syaratnya agar kita bisa memandang wajah Rasulullah? Seperti apakah wajah Rasulullah itu? Sebagaimana diriwayatkan oleh Al Thabrani dan Al Haitami bahwa Utsman binti Abdash melihat peristiwa kelahiran Rasulullah, dari sana muncul cahaya yang menerangi seluruh rumah, hingga kemanapun memandang yang terlihat hanya cahaya. Dan jika diumpamakan wajah Rasulullah itu bagaikan rembulan sebagaimana diceritakan Ka’ab bin Malik. Cahaya yang Rasulullah pancarkan itu sebenarnya asli, artinya cahaya itu benar-benar keluar dari diri beliau, bukan sekedar perumpamaan, sebagaimana diriwayatkan Sayyidah Aisyah. Dan dari Nur Muhammad itu terciptalah segala yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Demikian. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di http://powermathematics.blogspot.com/2010/06/elegi-ritual-ikhlas-iv-memandang-wajah.html .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar