Halaman

Paket Latihan CPNS

Minggu, 13 Januari 2013

Teori Berpikir Kant, Aspek Aksiologi, dan Aspek Menembus Ruang dan Waktu dalam Pembelajaran Matematika

Jawaban soal ujian akhir semester ganjil PPs UNY Pendidikan Matematika Kelas B TA 2012/2013

Soal:
1. Uraikan, jelaskan, dan beri contoh penerapan TEORI BERPIKIR MENURUT IMMANUEL KANT dalam pembelajaran matematika!
2. Uraikan, jelaskan, dan beri contoh aspek AKSIOLOGI dalam pembelajaran matematika!
3. Uraikan, jelaskan, dan beri contoh aspek MENEMBUS RUANG DAN WAKTU dalam pembelajaran matematika!
 
Jawab:
1. Menurut Kant, terdapat tiga tingkatan dalam proses pengetahuan manusia. Tingkat pertama dan terendah adalah pencerapan inderawi (sinneswahrnemung). Tingkat berikutnya atau kedua adalah tingkat rasio (verstand). Terakhir atau ketiga adalah tingkat tertinggi dalam proses pengetahuan, yaitu adalah tingkat akal-budi atau intelek (vernunft).
Sebagaimana diungkapkan Kant bahwa pengetahuan merupakan sintesis antara a priori (intuisi) dan a posteriori (pengalaman), seorang manusia berpikir berawal dari “kesadarannya” terhadap ruang dan waktu secara intuisi, yang dalam istilah Kant menyebut keduanya sebagai a priori sensibilitas, maksudnya keduanya sudah berakar di dalam struktur subjek. Ruang bukanlah ruang kosong yang ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukanlah merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (raum an sich). Sementara waktu bukanlah arus tetap, dimana penginderaan-penginderaan berlangsung1. Bagi Kant, ruang dan waktu merupakan “bentuk formal” penginderaan. Dalam pencerapan inderawi kita mengatur kesan-kesan atau cerapan-cerapan pengamatan kita dalam ruang dan waktu. Bentuk pengamatan di dalam diri kita yang disebut ruang dan waktu itulah yang memungkinkan adanya penginderaan sesuatu. Bentuk ruang mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang lahiriyah, sedangkan bentuk waktu mengatur atau membentuk kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Jadi, ruang dan waktu merupakan titik awal dari seorang manusia mengindera sesuatu. Bersama dengan pengamatan inderawi, bekerjalah rasio (verstand) secara spontan. Tugas rasio adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan putusan-putusan. Dalam hal ini, rasio bekerja dengan bantuan daya fantasinya (einbildungskraft). Pengetahuan rasio, menurut Kant, diperoleh ketika terjadi sintesis antara data-data inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai Kant sebagai “kategori”, yakni ide-ide bawaan -- dalam istilah Kant “konsep-konsep pokok” yang mempunyai fungsi epistemologis dalam diri manusia2. Selanjutnya yang dimaksud Kant dengan budi atau intelek (vernunft) adalah daya pencipta pengertian-pengertian murni atau pengertian-pengertian yang mutlak perlu, yang tidak diperoleh dari pengalaman melainkan mengatasi pengalaman itu sendiri. Tugas akal-budi atau intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya, yaitu rasio dan tingkat pencerapan inderawi. Dengan kata lain, intelek dengan idea-idea membuat argumentasi-argumentasi.
Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah siswa memperoleh pengetahuannya secara utuh jika melalui tiga tingkatan proses pengetahuan dari Kant tersebut. Pertama siswa berusaha “mencari” pengetahuan melalui penginderaan, contohnya bagaimana siswa mengenal geometri bangun ruang berawal dari mengamati bentuknya secara intuisi terhadap benda-benda di sekitarnya. Kemudian meningkat menjadi rasio dimana siswa berpikir sehingga dia melakukan pengkategorian bahwa ada benda yang berbentuk melingkar (sisi lengkung), ada yang berbentuk membujur (sisi datar), dari benda yang memiliki sisi lengkung siswa mengkategorikan lagi menjadi sisi lengkung sempurna (sisi lingkaran) dan sisi lengkung tidak sempurna (sisi oval), sedangkan dari benda sisi datar siswa mengkategorikan menjadi sisi yang sama panjang (yang disebut kubus) dan tidak sama panjang (bukan kubus), dst. Tetapi dalam tahap ini siswa masih belum mengetahui “pengertian” dari bentuk-bentuk benda yang diamati tersebut, sehingga disini diperlukan peran guru memfasilitasi siswa dalam “menterjemahkan” arti bentuk tersebut yang membuahkan pengetahuan bahwa yang bentuknya lengkung sempurna itu namanya “bola”, yang berbentuk datar dengan panjang yang sama itu namanya “kubus”, dst. Ini yang disebut tahap akal-budi atau intelek.
(Bahan bacaan dari Makalah oleh Irfan Noor, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, alamat Jl. Sei. Andai Komp. PWI Blok F No. 40 RT. 40 Banjarmasin, Email: irfan_al.alabij@yahoo.com.my, HP: 081331336942, judul Makalah: Teori Pengetahuan Immanuel Kant dan Implikasinya atas Batas Ilmu).
 
2. Axiology: "The branch of philosophy dealing with the nature of value and the types of value, as in morals, aesthetics, religion, and metaphysics." (Webster's New World Dictionary, 2nd Edition). Jadi aksiologi adalah ranah filsafat yang menguak nilai dari sesuatu berdasarkan ukuran etika (moral), estetika (keindahan), keagamaan, dan metafisik. Dalam pembelajaran matematika, aspek aksiologi yang dapat diambil bisa dikaji berdasarkan tujuan pembelajaran matematika di sekolah, antara lain (BSNP 2006): 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dari lima tujuan pembelajaran matematika di sekolah tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai dari pembelajaran matematika adalah pembentukan karakter / kepribadian seseorang berpikir matematis.
Jika ditelaah lebih jauh, nilai moral yang terkandung dalam pembelajaran bisa dilihat dari contoh kecil berikut: seorang siswa kelas 1 SD bertanya kepada gurunya tentang kegunaan matematika bagi diri siswa tersebut, guru matematika itupun menjawab dengan terlebih dahulu mengambil satu potong biskuit dan menyerahkannya kepada siswa tersebut sambil memintanya untuk membagi secara adil dengan teman sebangkunya. Disini bisa dilihat salah satu aspek moral yang terkandung dalam pembelajaran matematika yaitu sifat adil.
Untuk nilai estetika, dapat dilihat dari contoh bahwa betapa indah suatu rumah jika dibangun secara simetris, dalam artian tidak miring / condong ke kanan atau ke kiri.
Nilai keagamaannya bisa diambil dari penjelasan bahwa Allah itu Satu, satu melambangkan keberadaan Allah, sekaligus menunjukkan bahwa Satu menyiratkan kekuasaan, bahwa Allah itu Satu berarti Allah kuasa melakukan apapun tanpa memerlukan apapun, Satu juga menyiratkan entitas dari Allah bahwa jika Allah itu lebih dari Satu maka akan ada perbedaan pendapat antara Allah yang satu dengan Allah yang lain, dan ini akan membawa kepada kehancuran.
Nilai metafisik, bilangan 2 dapat bermakna “bukan yang satu atau bukan yang Esa atau bukan tentang diri Tuhan atau itu berarti segala ciptaan Tuhan”.
(Bahan bacaan: Makalah Prof. Dr. Marsigit yang berjudul Pengembangan Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan Matematika sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa, Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pengembangan Nilai-nilai dan Aplikasi dalam Dunia Matematika Sebagai Pilar Pembangunan Karakter Bangsa, Sabtu, 8 Oktober 2011 Di Universitas Negeri Semarang).
 
3. Berpatokan pada teori berpikir oleh Kant, istilah ruang dan waktu digambarkan sebagai intuisi seseorang menginderakan sesuatu dalam rangka memperoleh pengetahuan. Hal ini bisa diartikan bahwa ruang dan waktu ada dalam diri subjek dan mengikat subjek tersebut selama masih berada pada tingkatan berpikir rendah, dalam artian masih memerlukan pembuktian empiris (fenomena) dalam memperoleh pengetahuan. Sehingga jika tingkatan proses berpikir itu sudah berada pada tingkat paling tinggi yaitu akal budi atau intelek, maka tidak lagi diperlukan empiris, yang mengakibatkan tidak diperlukan penginderaan terhadap fenomena, sehingga tidak diperlukan lagi atau sudah menembus yang namanya Ruang dan Waktu. Istilah “menembus” digunakan karena tingkatan proses berpikir ini sudah melampaui tingkatan yang memerlukan bukti empiris (pengetahuan) dan terikat oleh ruang dan waktu. Ruang bukanlah ruang kosong yang ke dalamnya suatu benda bisa ditempatkan; ruang bukanlah merupakan “ruang pada dirinya sendiri” (raum an sich). Sementara waktu bukanlah arus tetap, dimana penginderaan-penginderaan berlangsung3. Bagi Kant, ruang dan waktu merupakan “bentuk formal” penginderaan. Sebagai contoh, siswa yang sudah bisa memberikan penjelasan tentang pengertian lingkaran bahwa lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang dalam jarak tertentu, yang disebut jari-jari, dari suatu titik tertentu, yang disebut pusat, merupakan suatu penembusan ruang dan waktu, karena pengertian tersebut sudah bisa dibawa kemanapun tanpa memerlukan representasi atau keterikatan terhadap ruang dan waktu lagi, dan dalam pembelajaran matematika adalah bahwa bagaimana cara efektif yang dilakukan dalam memfasilitasi siswa agar bisa sampai pada tingkatan berpikir tinggi tersebut.
(Bahan bacaan dari Makalah oleh Irfan Noor, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin, alamat Jl. Sei. Andai Komp. PWI Blok F No. 40 RT. 40 Banjarmasin, Email: irfan_al.alabij@yahoo.com.my, HP: 081331336942, judul Makalah: Teori Pengetahuan Immanuel Kant dan Implikasinya atas Batas Ilmu).
 
Sumber:
(1) Justus Hartnack, Kant’s Theory of Knowledge, (New York: Brace and World Inc, 1967), hlm. 75-79.
(2) Ibid, hlm. 85.
(3) Ibid, hlm. 75-79.























Tidak ada komentar:

Posting Komentar